Tian Zi Fang, Kampung Kumuh nan Kreatif
Penulis : Windoro Adi | Rabu, 8 Mei 2013 | 13:10 WIB
KOMPAS.com- Dalam kriminologi, kawasan padat penghuni di kampung kumuh -terutama di kota kota besar-- identik dengan sumber kejahatan jalanan. Kemiskinan, pendidikan yang rendah, serta beraneka sistem sosial budaya kaum urban dari daerah asal masing-masing yang rentan kohesi sosial, menjadi penyebabnya.
Tidak demikian dengan kawasan kumuh di Tian Zi Fang, Shanghai, China. Di sana, rumah-rumah berukuran 21 meter persegi berlantai dua, berdiri saling berhimpit, dibelit gang selebar dua meter yang berputar-putar bak labirin.
Arsitektur rumah di sana bergaya Shi Ku Men, yaitu paduan arsitektur tradisional Shanghai-Hai Pai, dengan arsitektur Barat di awal abad 20. Tembok-tembok rumah berbata merah dibiarkan telanjang. Sebagian dibiarkan berpadu dengan lumut.
Ada pemilik rumah yang masih tinggal di lantai dua dan memanfaatkan lantai satu untuk membuka usaha. Ada pula pemilik rumah yang memanfaatkan kedua lantai rumahnya untuk membuka usaha, sementara ia dan keluarganya tinggal di luar Tian Zi Fang. Sebagian kecil lainnya mengontrakkan rumah mereka kepada orang lain sebagai tempat usaha.
Sore itu, Sabtu (4/5/2013), kami menyusur gang-gang di Tian Zi Fang. Dari jendela kayu beberapa rumah di lantai dua, menjulur tiang yang ramai oleh jemuran. Di beberapa tempat bergantungan lampion-lampion warna merah yang sebagian bersusun. Ada sekitar 200 rumah di sana.
Lantai satu rumah umumnya dijadikan kedai kopi, bar, galeri, restoran, bistro, toko produk kerajinan, dan lukisan, serta studio seni rupa. Meski dibiarkan apa adanya dengan retakan tembok di sana sini di antara pintu-pintu kayu berwarna kusam, setiap sudut ruang ditata menarik. Rak-rak kayu, topeng-topeng, patung-patung batu dan kayu, karya-karya foto dan lukisan dalam ukuran besar dan kecil, pot-pot dan tanaman gantung membuat suasana di Tian Zi Fang hangat.
Kedai kopi dan restoran menggelar meja-meja dan kursi-kursi kayu panjang di pinggiran gang dengan tampilan gaya lewat pernik dan hidangan warna-warni -Barat, Timur Tengah, dan Asia. Demikian pula sebagian galeri, studio seni rupa, dan toko kerajinan di sana yang mendekorasi ruang dengan tema-tema bermacam etnik dan kebangsaan, atau kontemporer.
Di salah satu gang tampak kursi-kursi panjang terisi pasangan muda-mudi lokal dan asing bercengkerama. Semeter dari situ, belasan wartawan dan para pecinta fotografi berkumpul, siap membidik tingkah laku pengunjung yang hilir mudik dengan busana warna-warni. Beberapa di antara mereka bahkan membawa beberapa model dan menjadikan Tian Zi Fang sebagai latar belakang karya-karya foto mereka.
Dua kali kami berkeliling gang-gang yang bak labirin membuat beberapa kali kami tersesat. Melintas Gang Taikang, Gang Jianguozhong, Gang Ruijiner, dan Gang Sinan. Naik turun, keluar masuk kedai demi kedai, galeri demi galeri sampai akhirnya kami memutuskan duduk melepas lelah di depan Kedai Corner Asia, bersebelahan dengan Alley Caffee & Bar.
Kami lantas membanding-bandingkan kawasan ini dengan kawasan wisata di Jalan Jaksa dan Jalan Sabang di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Berandai-andai Pemprov DKI mampu menyulap sejumlah kawasan kumuh di Jakarta lainnya menjadi kawasan Tian Zi Fang yang mandiri, nyaman, hangat, dan bersahabat bagi banyak bangsa dan etnis.
Di tengah percakapan, tiga gelas besar beer Paulaner untuk tiga rekan pria, sebotol corona dan segelas besar es krim coklat untuk dua rekan putri, datang. Hidangannya, sepiring roti lapis berisi sayur mayur, dan sepiring kayu pizza panas.
Dikenal dunia
Rumah-rumah berarsitektur Shi Ku Men di Tian Zi Fang ini dibangun tahun 1930. Tahun 2006, pemerintah berniat menggusur para penghuninya dan menata kembali kawasan ini, tetapi ditentang warga. Bersama sejumlah seniman dan pedagang lokal di sana, mereka berjanji akan mengubah kawasan hunian mereka sebagai kawasan wisata dan industri kreatif.
Pemerintah pun setuju dan membatalkan rencana relokasi para penghuni di sana. Meski demikian, pengembangan kawasan berjalan lamban. Maklum, modal warga, terbatas. Beruntung, media massa asing yang melihat kawasan ini berpotensi menjadi kawasan wisata menarik yang murah meriah, banyak menulis dan menayangkan Tian Zi Fang.
Para penanam modal perorangan asal Perancis, Jepang, Australia, Selandia Baru pun tertarik membuka usaha di sana bersama para penghuni Tian Zi Fang. Hanya dalam waktu setahun, 2007, kawasan industri kreatif ini dikenal dunia sebagai kawasan wisata ala bohemian. Peringkatnya di lingkungan wisatawan asing pun terus naik di antara 500 kawasan wisata di China. Kini, berada di peringkat 16.
Sebagai kawasan wisata, Tian Zi Fang sebenarnya mirip dengan kawasan di Xintiandi, Shanghai, tempat di mana Partai Komunis China menggelar konggres pertamanya. Tetapi berbeda dengan Tian Zi Fang, Xintiandi yang juga memiliki gedung-gedung berarsitektur Shi Ku Men, terasa kehilangan "roh" setelah 3500 warganya direlokasi ke tempat lain saat di tata ulang.
Luas Xintiandi yang mencapai 30.000 meter persegi dengan luas lantai bangunan 60.000 menetr persegi serta pengelolaannya yang diserahkan ke satu tangan bergaya manajemen modern nan dingin, ikut membuat suasana di Xintiandi tidak lagi sehangat suasana di Tian Zi Fang.
Meski demikian, Xintiandi masih jauh lebih baik dari kawasan Kota Tua di Jakarta yang dibiarkan rusak terbengkalai meski memiliki potensi wisata lebih bagus ketimbang Xintiandi.
Menyinggung kawasan kumuh di Tian Zi Fang yang bebas dari kejahatan jalanan, kriminolog UI Prof Adrianus Meliala memastikan, ada campur tangan negara dalam memelihara ketertiban di sana. "Kawasan kumuh itu tidak hanya dilihat dari aspek fisiknya saja, tetapi juga tertib, perilaku, dan kohesi sosial masyarakatnya. Saya yakin, China lewat polisi dan instansi terkaitnya di Tian Zi Fang, bisa bertangan besi untuk menegakkannya," tegasnya saat dihubungi, Senin (6/5/2013) malam.
Yang istimewa dalam kasus Tian Zi Fang, lanjutnya, tangan besi negara tidak membunuh kreativitas para penghuninya, dan membuat mereka seperti robot. Dengan pendampingan negara, warga sadar bagaimana membangun rasa aman pengunjung. Rasa aman pengunjung ini berbuah pada peningkatan pendapatan warga. Negara pun lewat instansi terkait pengembangan usaha kecil, mendampingi warga.
"Intinya, rasa aman dulu terbangun, baru bicara soal aspek ekonomi seperti bagaimana menjadikan tempat itu menjadi tempat yang menarik dan menyenangkan dengan harga produk yang terjangkau sesuai target pasar yang dituju," tutur Meliala.
Kawasan Tian Zi Fang memang dilengkapi puluhan CCTV. Belasan polisi berseragam, hilir mudik ramah di kawasan yang hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar itu. Belasan polisi lain, membaur bersama pengunjung, pengelola usaha, dan pemilik rumah.
Saat mereka mendengar percakapan keras antara pengunjung dan pengelola usaha, mereka cepat mendekat mengamati apa yang terjadi. Kehadiran mereka membuat tak seorang pun pengamen dan pengasong datang ke Tian Zi Fang. Dengan caranya, polisi membebaskan kawasan ini dari praktek prostitusi terselubung.
"Saya kira Tian Zi Fang menjadi contoh yang baik mengenai bagaimana seharusnya Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya bekerja sama dan bersinergi," ucap Meliala. Ia tidak setuju pos-pos polisi dibubarkan, sebab pembubaran pos polisi mengurangi skala kehadiran negara di lokasi.
"Saya menduga, para polisi di Tian Zi Fang adalah polisi setara anggota pos-pos polisi di Jakarta dibantu polisi patroli di tingkat Polres," tegas Meliala. Bahwa ada dugaan anggota di pos-pos polisi ikut menjadi beban biaya produksi para pengusaha kecil, itulah yang harus diatasi Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya. "Bukan membubarkan pos-pos polisi," tandasnya.
Editor :
Rusdi Amral
sumber : http://travel.kompas.com/read/2013/05/08/13104170/Tian.Zi.Fang.Kampung.Kumuh.nan.Kreatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar